Prostitusi Berkedok Rehabilitasi

”Viera”! Perempuan itu meneriakkan namanya di tengah dentuman house music di ruang utama Bar 99, Senin malam pekan lalu. Tangannya terjulur memperkenalkan diri. Dia berumur 29 tahun, berkulit putih dengan rambut tergerai di bawah bahu.

Mengenakan tanktop warna merah, dipadu rok pendek hitam, Viera duduk menyilangkan kaki. Senyumnya terukur. Wajahnya manis dan menarik. Tangannya telaten menuang minuman ke dalam gelas-gelas kosong di atas meja.

Malam itu ruang utama Bar 99 yang lebih mirip sebuah hall, tak begitu penuh pengunjung. Luasnya kira-kira 12 kali 24 meter. Lantainya bersih, berkeramik putih. Belasan pasang sofa empuk berjejer, lengkap dengan meja kaca di tengah-tengahnya.

Bagi pengunjung lokalisasi yang biasa disebut Telukpandan ini, Bar 99 paling terkenal. Lokasinya di simpang pertama dari pintu masuk, agak menjorok ke dalam. Ke sanalah, Jumat dua pekan lalu, sejumlah anggota DPRD Batam melakukan inspeksi mendadak di siang hari saat penghuni tidur.

Di malam hari, suasananya berbeda. Dentuman house music memekakkan telinga. Lampu disco menari-nari. Belasan perempuan berpakaian seksi duduk di kursi plastik depan bar, menunggu tamu datang.

Dua pekerja berseragam, bertuliskan Bar 99, berdiri di depan pintu. Mereka menyalami setiap tamu yang datang, mengantar sampai tamu itu memilih tempat duduk. Mereka juga sigap membawa perempuan-perempuan yang tadi duduk di depan bar ke dalam, sebagai teman minum. “Kami pilihkan yang cantik,” katanya.

Viera dan tiga temannya, Dea, Salsa dan Tina menemani Batam Pos. Beda dengan Viera yang sudah berumur 29, ketiga perempuan itu baru berumur 23. Masih muda dan wangi. Rata-rata mengenakan rok pendek di atas lutut.

Suara musik terus mengalun. Di tengah jejeran sofa ada lantai kosong, tempat para tamu berjoget. Beda dengan diskotek, pencahayaan di Bar 99 tak terlalu remang-remang. Tamu yang duduk di sofa, bisa melihat tamu lain yang duduk di sofa berbeda.

“Kalau ingin yang gelap, kita ke kamar,” kata Viera.

Kamar-kamar tempat para pekerja seks komersial itu berada di lantai 2 Bar 99. Tempatnya berjejer seperti kamar kos atau losmen sederhana. Setiap kamar dilengkapi tempat tidur berpegas, lengkap dengan kamar mandi.

Viera menawari tarif short time Rp200 ribu. “Kalau mau menginap Rp500 ribu,” tuturnya.

Short time berarti hanya satu kali bercinta dengan mereka. Tak bisa dua kali? “Rugi dong kami. Kami harus cari tamu yang lain,” katanya. Sedangkan menginap berarti berduaan di dalam kamar hingga pukul enam pagi.

Tarif sekali kencan itu ternyata bervariasi. Jika Viera menawari Rp200 ribu, tarif Salsa lebih murah, hanya Rp150 ribu.

Sekali tamu naik ke lantai 2, tamu harus bayar. Itu peraturannya. Meski tak sampai berhubungan, tamu yang sudah masuk kamar tetap dikenai tagihan. Aturan lainnya, tamu wajib mengenakan kondom. “Kalau tak mau, kita turun, tak jadi main,” tukas Viera.

Viera tergolong penghuni baru di Bar 99 itu. Ia baru lima bulan. September nanti, katanya, ia akan pulang ke kampungnya di Desa Sukamandi, Subang, Jawa Barat.

Saat suaminya meninggal, ia harus menanggung biaya hidup dua anaknya yang masih kecil. Begitu ada temannya pulang dari Telukpandan, ia ikut serta.
Selama lima bulan di Batam, Viera tak pernah kemana-mana. Ia tak mengetahui wacana penerapan pajak 10 persen di bisnis prostitusi yang kini digaungkan anggota DPRD Batam, itu. Ia mengaku ingin bekerja mengumpulkan duit untuk menghidupi keluarganya.

Pekerja galangan kapal di kawasan Tanjunguncang termasuk tamu paling banyak yang datang ke Sintai. Sesekali Telukpandan dikunjungi orang-orang asing.

Bar 99 hanyalah satu di antara puluhan bar lainnya di Telukpandan. Bar ini milik Jumaat. Tahun lalu, di bar ini ada pernikahan antar penghuninya. Resepsi pernikahan digelar meriah, di ruang utama Bar 99 yang luas itu.

Penyimpangan

Lokasi tempat Bar 99 dan puluhan bar lainnya itu nama resminya adalah Pusat Rehabilitasi Sosial Non-Panti. Lokasinya di Telukpandan, Tanjunguncang. Nama beken lokasi ini adalah Sintai. Berdasarkan catatan Batam Pos dan buku informasi yang diterbitkan Dinas Sosial Kota Batam, tujuan pembangunan Sintai yang didasarkan pada Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 06 Tahun 2003, adalah untuk mengurangi lokasi prostitusi yang tersebar di Batam, kala itu.

Dinsos mencatat ada enam titik lokasi prostitusi, yaitu di Pulau Mat Belanda, Bukit Girang, Teluk Bakau, Tanki Seribu, Tanjungpiayu, dan Tanjunguncang, dengan jumlah pekerja seks sebanyak 866 orang. Enam lokasi ini (rencananya) digusur, dan seluruh pekerja seksnya dikirim ke Telukpandan untuk direhabilitasi dan diberi keterampilan, sebelum dipulangkan ke daerah asal. ‘’Pusat rehabilitasi ini merupakan penyatuan enam lokasi prostitusi di Kota Batam dengan tujuan agar lebih terkonsentrasi kegiatan dan pembinaannya,’’ demikian bunyi salah satu informasi dalam buku informasi yang diterbitkan Dinsos.

Entah pernah membaca atau tidak SK 06/2003 atau sejarah berdirinya Telukpandan yang diterbitkan oleh Dinas Sosial, pekan lalu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan justru membantah Telukpandan sebagai pusat penampungan pelaku prostitusi. Ia menyebut tujuan pembangunan Telukpandan hanya sebagai rumah singgah bagi warga tak ber-KTP Batam atau korban penggusuran rumah liar. Bukankah korban penggusuran ruli punya lokasi pemindahan sendiri, yaitu Kavling Siap Bangun?

Sebagai pusat rehabilitasi, Telukpandan harusnya bersifat sementara. Menurut Sekretaris Dinas Sosial Kota Batam Erlambang, dalam Perda Nomor 6 Tahun 2002 tentang Ketertiban Sosial, jelas disebutkan, Telukpandan hanya dibolehkan beroperasi maksimal tiga tahun. ‘’Karena tujuannya kan untuk rehabilitasi saja,’’ katanya, Rabu (24/2).

Pakai hitung-hitungan kasar saja, jika proses rehabilitasi benar-benar dijalankan sejak tahun 2003, terhadap 866 pekerja seks dari enam lokalisasi pindahan, seharusnya proses itu sudah selesai tahun 2006 silam, dan Telukpandan sudah berubah fungsi jadi sarana lain yang lebih memberi banyak manfaat bagi masyarakat, apakah kawasan industri atau perumahan.

Namun, faktanya, jumlah bar yang menampung pelaku prostitusi terus bertambah. Bentuk bangunan pun diubah. Dibuat semegah mungkin, seakan mereka bakal bertahan lama di sana. M Nasir alias Nacing, Ketua Pengurus Pusat Rehabilitasi Telukpandan, saat inspeksi mendadak anggota DPRD Batam, dua pekan lalu, mengatakan, di lokasi itu ada sebanyak 33 bar, dengan pekerja seks 606 orang. Para pekerja seks itu banyak yang dikontrak per tahun seperti pekerja lain di Batam.

Kepada anggota Dewan, Nacing mengaku, sesungguhnya tidak ada pembinaan dari Dinas Sosial di sana. “Tidak pernah ada pembinaan dari Dinsos. Kalau katanya ada uang pembinaan itu hanya cerita di koran saja. Kegiatan di sini kami biayai sendiri secara swadaya,” ujarnya.

Erlambang membantah Dinsos lepas tangan. ‘’Beberapa kali kita melakukan pelatihan di sana, seperti keterampilan salon,’’ ujarnya. Berapa biaya yang dianggarkan tiap tahun untuk Telukpandan? Dengan alasan baru bertugas di Dinas Sosial, Erlambang mengaku tidak tahu pasti.

Berdasarkan perbincangan Batam Pos dengan sejumlah pekerja seks yang beroperasi di sana, sebagian besar dari mereka justru bukan pindahan dari enam lokalisasi yang disebutkan Dinas Sosial. Sebaliknya, para pekerja seks ini adalah wajah-wajah baru dari berbagai daerah di luar Batam, seperti Viera dan tiga kawannya di Bar 99 itu. Artinya, Boleh dibilang, rehabilitasi hanya kedok belaka.

‘’Kursus apa? Belum pernah ikut,’’ ujar seorang pekerja seks, saat sidak anggota Dewan. Yang terjadi, praktik prostitusi dalam “lindungan pemerintah” makin berkibar-kibar di area seluas 9,4 hektare itu.

Melimpahnya “barang baru” (istilah di lokalisasi untuk menyebut pekerja seks pendatang baru) di Telukpandan, memang sulit dibantah. Mau bukti, tanyakan pada Iis Siti Nurosila, 36, dan Eli Suep, 32. Dua perempuan asal Bandung ini dikirim oleh sebuah sindikat penjual wanita ke Telukpandan pada pekan kedua Februari 2010. Semula ia dijanjikan bekerja sebagai pelayan restoran di Tanjungpinang. Iis dan Eli justru disuruh melayani pria hidung belang di Telukpandan. Ia berhasil kabur pada Kamis (25/2) dini hari.

“Kami bukan pelacur,’’ ujar Iis di Polsek Batuaji. Selain Iis dan Eli, anggota Dewan juga menemukan dua pekerja seks bawah umur di sana. ‘’Ada indikasi mereka (pekerja seks) yang di sini (Telukpandan) adalah korban trafiking,’’ kata Ketua Komisi IV DPRD Batam Ricky Indrakari.

Kendati bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pekerja seks di Telukpandan adalah wajah-wajah baru, Erlambang tetap yakin, mereka yang ada di Telukpandan adalah hasil penertiban Dinas Sosial. ‘’Sepengetahuan saya yang ada di sana adalah hasil penertiban kita. Kalau ada oknum di sana yang mendatangkan PSK-PSK itu, berarti pengawasan kita bersama harus diperbaiki lagi,’’ katanya.

Makin jauhnya program rehabilitasi di Telukpandan dari cita-cita awal membuat kalangan mahasiswa gerah. Pekan lalu, mereka menuntut DPRD Batam menggelar hearing dengan menghadirkan Wali Kota Batam. ‘’Seharusnya sebagai tempat rehabilitasi, malah makin berkembang menjadi lokasi prostitusi,’’  kata Sekretaris Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Batam Susanna.

Jika pemerintah tak becus, kata mereka, lebih baik Telukpandan ditutup saja. Tapi, Pemko Batam tampaknya berat menutup Telukpandan. Ini tersirat dari jawaban Wali Kota Ahmad Dahlan. “Bukan ditutup, tapi dievaluasi,” katanya. Ada apa? (med/uma/bal/cr1/batampos)

Leave a comment