Semua Ada di Mal

Andi, 25, langsung mengeluarkan laptop Acer warna hitam dari dalam tasnya begitu duduk di sofa empuk Bistro Godiva, Nagoya Hill, Kamis pekan lalu. Di depannya, Danzo, 25, melihat-lihat menu yang disodorkan pelayan bistro itu. Siang itu, mereka memesan dua gelas cola dingin, sepiring kentang goreng dan sepiring paha ayam.

Sambil menunggu pesanan datang, Andi menyalakan laptop, menjelajahi dunia maya lewat hot spot gratis yang disediakan Godiva. Lagu Anang terbaru berjudul Separuh Jiwaku Pergi, mengalun menemani makan siang Andi dan Danzo.

Dalam seminggu, mereka bisa dua atau tiga kali ke mal. “Kalau tak cari keperluan, ya nongkrong-nongkrong aja,” tutur Andi, karyawan swasta.

Sebetulnya, katanya, ia lebih suka berada di ruang-ruang publik daripada harus ke mal. Sayangnya, Batam tak memiliki taman atau ruang publik yang nyaman. Sehingga mau tak mau ia harus pergi ke mal. Mal juga menyediakan hampir semua kebutuhan. Mulai dari tempat makan-minum, hiburan, pakaian dan fasilitas lainnya.

“Kita mau ke taman untuk internetan misalnya, tempatnya terbatas. Jadinya ya harus ke mal, tempatnya nyaman, dingin, santai,” tukasnya.

Andi mengaku selalu membawa komputer jinjingnya itu. Ia selalu nongkrong di tempat makan, mengakses hotspot gratis. “Kalau tak di Godiva, ya di Coffe Town.”

Andi dan Danzo hanya satu dari ribuan warga Batam yang menjadikan mal tak sekadar sebagai tempat belanja. Fungsi mal mulai bergeser, mengikuti gaya hidup masyarakat. One stop shopping adalah prinsip yang dianut kebanyakan mal di Batam. Selain belanja Anda juga bisa makan bersama keluarga atau kolega, nonton film kesayangan di gedung bioskop modern, berkaraoke atau merawat tubuh Anda. Mal juga menjadi tempat menambah pengetahuan, banyak orang datang ke mal untuk membaca buku.

Pengelola mal menawarkan konsep yang cukup beragam. Namun, tetap ada beberapa kesamaan, di antaranya pengembang tidak lagi mengandalkan penyewa utama (anchor tenant) dari asing dan penyewa dari perusahan waralaba nasional juga tidak lagi mendominasi.

Sejumlah mal menawarkan konsep campuran antara mal murni dan pusat perdagangan (trade center). Ini terlihat dari disediakannya ruangan-ruangan khusus untuk penyewa dari kalangan pedagang kebutuhan sehari-hari, seperti pakaian, telepon genggam, dan produk elektronik. Ada juga mal yang menyediakan gerai khusus untuk usaha kecil menengah (UKM) dan beragam produk kerajinan nasional.

Gerai makanan dan minuman sama-sama menjadi andalan karena inilah yang paling banyak disinggahi pengunjung. Apalagi gerai makanan yang ada juga beragam, mulai dari makanan tradisional, sea food, makanan cepat saji hingga makanan barat.

Nagoya Hill termasuk salah satu mal dengan konsep one stop shopping, itu. Menurut Bevi Linawati, General Manager Nagoya Hill, mal yang berada di pusat bisnis Nagoya itu menyediakan semua yang dibutuhkan masyarakat, tempatnya nyaman dan ditunjang keberadaan gerai-gerai terkenal. “Nagoya Hill juga ditunjangn tenant ternama seperti hypermart, Matahari, Ace Hardware dan lainnya,” katanya.

Lokasi Nagoya Hill yang strategis, jadi kelebihan tersendiri. Nagoya Hill berada di jalan besar dan dilewati kendaraan umum. Pengunjung tak perlu repot karena jalan menuju Nagoya Hill bisa diakses angkutan umum atau taksi. “Nagoya Hill juga dikelilingi oleh hotel-hotel. Dengan program Visit Batam 2010, banyak wisatawan yang datang. Dengan posisi di tengah, kunjungan wisatawan ke Nagoya Hill juga akan meningkat. Itu harapan kita.”

Ketatnya persaingan mal di Batam, dilihat Bevi sebagai sebuah tantangan. Ia tak khawatir karena pengunjung juga yang nantinya menentukan akan memilih mal. Mal tanpa konsep yang jelas hanya akan sekadar numpang lewat.

GM Manager Avava Plaza, Avin, mengakui ketatnya persaingan mall saat ini. Jumlah mall semakin bertambah, sementara jumlah pengunjung tak bertambah. Avava, katanya, menyiasatinya dengan menggandeng tenant yang bisa menarik pengunjung atau pembeli sebanyak-banyaknya. Bila masing-masing tenant bisa menarik pengunjung yang banyak, maka dengan sendirinya mall tersebut akan ramai.

”Pengelola mall harus punya strategi mencari tenant dan pengunjung. Para tenant pun juga harus punya strategi menarik pengunjung,” katanya.

Menurutnya, saat ini yang menjadi masalah tidak saja jumlah pengunjung, tapi juga jumlah tenant yang semakin banyak. Dengan banyaknya buka mall dan pusat belanja baru, tenant yang ada di satu mal cenderung membuka cabang di mal lain. ”Biasanya satu tenant bisa membuka cabang sampai 5 di mall lain. Mungkin di satu tenant mungkin rugi di mall ini, tapi ditutupi dengan pendapatan di cabangnya yang lain,” katanya.

Batam City Square (BCS) Mall di kawasan Baloi, termasuk yang mengikuti gaya hidup masyarakat. Menurut Head Promotion BCS Mall Sarmono, BCS Mall memadukan pusat perbelanjaan,  entertaintment dan rekreasi keluarga di satu tempat. BCS memiliki banyak pilihan butik, cafe dan restoran, tempat bermain, departement store dan supermarket.

“Kenyamanan custumer itu hal utama yang kami junjung tinggi sehingga mereka bisa lebih enjoy dan nyaman berbelanja di BCS Mall,” katanya.

BCS Mall, kata Sarmono, didesain untuk memudahkan pengunjung. Akses naik turun tidak membingungkan, dan masing-masing lantai terhubung dengan lift, escalataor, trafalator, serta akses parkir yang luas. Semua kebutuhan masyarakat mulai dari kebutuhan belanja hingga gaya hidup pop juga dihadirkan di BCS. Seperti salon, nail art, massages, hingga bioskop dan family karaoke, sport entertaintment dan lainnya.

BCS mall membidik semua kalangan. Mal ini, kata Sarmono, mal berkonsep pluralisme, untuk semua masyarakat dan pengunjung yang mencari kenyamanan, dan kebutuhan. “Kami membidik masyarakat yang memang memerlukan satu lokasi, one stop shopping dan entertaintment, karena itu jika ingin belanja yang nyaman, lengkap, ya ke BCS Mall,” katanya.

Selain mal-mal yang sudah lebih dulu hadir, 28 Januari nanti akan buka mal baru yakni Harbour Bay Mall dan Kepri Mal di bulan September. Harbour Bay Mall berlantai tiga dengan desain modern, memanjang. Mal ini memiliki gerai-gerai berukuran besar, seluas 25 meter persegi.

Saat ini pengerjaannya terus digesa. Rabu pekan lalu, misalnya, puluhan pekerja memasang kabel dan keramik di bagian depan mal. Ada lima tiang pancang kokoh yang menopang lobi, dengan tulisan Harbour Bay Mall berwarna merah menyala. Belum jadi, tapi sudah terbayang betapa megahnya mal ini nanti.

Menurut owner Harbour Bay Mall Hartono, mal ini membidik turis-turis yang datang ke Batam melalui pelabuhan Harbour Bay Mall. Harbour Bay Mall menyatu dengan pelabuhan, hotel, tempat spa, restoran sea food, tempat bermain dan cafe. “Begitu turis datang, segalanya sudah ada di tempat ini. Misalnya, ibunya belanja, anaknya bermain atau bapaknya menikmati hiburan,” tukasnya.

Di Harbour Bay Mall juga akan hadir perusahaan ritel dunia asal Prancis, Carrefour yang akan buka mulai 28 Januari 2010. Ini merupakan outlet Carrefour yang ke-78 di seluruh Indonesia. Carrefour yang akan dibuka di Harbour Bay Mall ini merupakan gerai kategori compaq dengan luas sekitar 3.000 meter persegi. Gerai ini menyediakan sedikitnya 25 ribu jenis produk kebutuhan sehari-hari. Mulai dari jenis grossery, peralatan rumah tangga, aneka sembako, barang elektronik hingga beragam produk tekstil.

Selain lebih lengkap, Carrefour juga hadir dengan menawarkan beragam diferensiasi yang menarik dan lebih menguntungkan bagi konsumen. Di antaranya produk-produk yang berkualitas, sistem pelayanan yang dan servis yang baik, suasana belanja yang nyaman dan tentunya menawarkan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan supermarket lainnya.

Munculnya banyak mal di Batam, kata Ketua Indonesia Marketing Association (IMA) Kepri Riginoto Wijaya, akan membuat persaingan antar mal cukup ketat. Apalagi, banyak mal berkonsep sama, sebagai one stop shopping. Sementara pertumbuhan pembeli tak cukup tinggi. “Sehingga harus pintar-pintar, punya strategi khusus,” katanya.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar sebuah mal bisa menarik pengunjung sebanyak mungkin. Cara-cara klasik seperti banyak menggelar acara, memadukan konsep belanja dan hiburan, memperbanyak variasi gerai dan lainnya. Pengelola mal, katanya, juga bisa menggandeng tenan-tenan menggelar diskon khusus di momen-momen tertentu. “Tapi mendatangkan pengunjung saja juga tak cukup, karena yang datang belum tentu belanja,” ujar mantan anggota DPRD Batam, itu.

Banyak mal di Batam yang tutup, akibat pengelolanya tak tanggap akan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Banyak juga kasus mal lama tutup dengan hadirnya mal baru. Di sini, Riginoto menilai, dibutuhkan kepintaran strategi agar mal lama tak mati ketika mal baru hadir.

Hadirnya Harbour Bay Mall, katanya, pasti akan berpengaruh pada mal yang ada di sekitarnya, seperti Nagoya Hill misalnya. Apalagi di Harbour Bay Mall, hadir peritel kelas dunia seperti Carrefour. Belum lagi nanti munculnya Kepri Mall di simpang Kabil.

Meski begitu, katanya, mal-mal kecil belum tentu tak bisa bersaing. Mereka bisa memanfaatkan faktor kedekatan tempat tinggal dan keunikan. Seperti Top 100 penuin misalnya, yang identik dengan produk-produk khas China. Atau Top 100 di Batuaji yang bisa memanfaatkan kepadatan penduduk kawasan Sagulung dan Batuaji.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM Batam Pebrialin mengatakan selama ini pertumbuhan pusat perbelanjaan di Batam mendahului regulasi yang ada. Pemko Batam tak bisa mengatur karena dulu izin pembangunan sebuah pusat perbelanjaan seluas 2.400 meter persegi misalnya, menjadi kewenangan pusat.

Baru setelah muncul Keputusan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 dan Perda Nomor 10 Tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar di Kota Batam, wewenang itu berada di tangan pemerintah daerah. “Dengan adanya Perda ini kita akan lebih selektif dalam hal pemberian izin pendirian pusat perbelanjaan,” katanya.

Pembangunan sebuah pusat perbelanjaan, kata Pebrialin, harus dianalisa dari sisi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan, seperti struktur penduduk (kepadatan, tingkat pendidikan, pendapatan dan pertumbuhan penduduk), dampak positif dan negatifnya terhadap mal yang sudah ada atau pasar tradisional di sekitarnya. Tentu itu diluar faktor tata ruang dan izin-izin pembangunan lainnya.

Sehingga ke depan, jika ada pengusaha yang ingin membangun pusat perbelanjaan baru, harus membawa analisa tersebut. “Jika analisanya baik diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang cukup pesat bisa saja diizinkan. Tapi jika membawa dampak negatif, mematikan mal yang sudah ada di sekitarnya misalnya, bisa saja tak kita izinkan,” tukasnya.

Di Batam, saat ini ada sekitar 17 pusat perbelanjaan. Di antaranya Mega Mall, Nagoya Hill, BCS, Top 100 Penuin, Top 100 Jodoh, Avava, Robinson, Lucky Plaza, Panbil Mall, Plaza Batamindo, STC, Centre Point, DC Mall, Sentosa Perdana dan lainnya. Itu belum lagi tiga mal baru yang masih dalam tahap pembangunan seperti Harbour Bay Mall, Kepri Mall dan Top 100 Batuaji.

Sudah berlebihankah jumlah mal di Batam? Pebrialin tak bisa menjawab. “Itu perlu kajian. Sampai saat ini Batam belum punya kajian soal jumlah ideal pusat perbelanjaan dibandingkan jumlah penduduk. Tapi nanti, kita harus punya kajian soal itu,” ujarnya.

Sebagai perbandingan, Jakarta dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa hanya memiliki 66 mal. Jumlah itu sudah dianggap banyak kalangan berlebihan dan mengalami titik jenuh. Bandingkan dengan Batam, dengan penduduk satu juta jiwa, tapi sudah memiliki 20 pusat perbelanjaan. Itu diluar puluhan pasar tradisional yang tersebar di sejumlah tempat. ***

One response to “Semua Ada di Mal

  1. Good web site you have here.. It’s hard to find quality writing like yours nowadays. I truly appreciate people like you! Take care!!

Leave a reply to http://www.notebooktamir.com.tr Cancel reply