di belakang tuhan pun kita berpolitik

bulan puasa, oktober 2008. siang sedang terik-teriknya, menjulur-julurkan lidah panasnya di langit batam. di gedung dewan, seorang anggota dewan mengelus-ngelus perutnya. bibirnya kering berwarna coklat kehitam-hitaman.

“saya puasa terus. mudah-mudahan sebulan penuh,” kata pria itu, seorang ketua partai.

pemilu april 2009, itu sudah dekat. pria tadi rupanya paham, tak cukup mengambil hati masyarakat untuk terpilih lagi. apalagi ambisinya cukup besar, menjadi pimpinan dewan. maka tuhan pun harus diambil hatinya. puasa sebulan penuh dilakoninya.

lalu april pun terlewati. ia terpilih lagi, menjadi pimpinan dewan. bulan puasa lalu saya bertemu dengannya. di ruangannya yang cukup megah, dia menyimpan sebotol anggur merah. “saya mag, tak bisa puasa,” tuturnya.

pria kedua berikrar tak akan korupsi. suatu pagi ia membisikkan sesuatu. “saya dengar pemko mau membagikan uang ke sini. lihat saja, nanti saya akan buka-bukaan,” katanya.

saya mengangguk, mengingatkan akan janjinya dulu. saya bilang, harus ada yang berbeda. namun waktu berlalu. berbulan-bulan kabar itu tak datang. berita yang kemudian berhembus, pria kedua itu tak sanggup buka-bukaan. “bahaya, banyak yang terlibat.”

toh, kepentingan politiknya terpenuhi. dia terpilih lagi, menempati posisi yang sama seperti dulu.

pria ketiga kukenal cukup dekat. saat masa kampanye dulu, ia mengeluh tak punya banyak uang. “tak mungkin saya jor-joran. kalau masyarakat mau, biar saya terpilih lagi tanpa keluar banyak duit,” tuturnya.

metode kampanyenya diubah. kalau dulu ia membagi-bagikan uang dan beras, kali ini ia membagi-bagikan uang ke masjid-masjid. jumlahnya rp100 juta, untuk 100 masjid. hasilnya, ia gagal terpilih lagi.

“bagaimana ni, masyarakat. masa ustad seperti saya tak terpilih. saya bukannya tak rela, cuma kasihan aja sama masyarakat banyak dibohongi politisi,” katanya.

pria tadi memang bukan politisi. ia ustad, sehingga berpikiran menyumbang uang ke masjid akan lebih efektif dibandingkan menyumbang uang ke masyarakat. atau jangan-jangan ia berpikir, masjid yang ia sumbang akan berdoa untuknya.

lalu pria yang ini, sedang berkuasa. tahun depan jabatannya bakal habis. ia banyak ditanya wartawan soal apakah ia akan maju, siapa pasangannya dan lain sebagainya. tapi, ia selalu tersenyum. “kan masih lama. nanti saja.” begitu jawabnya.

ia menyembunyikan langkah-langkah politiknya. bulan puasa lalu, ia bertemu dengan seorang walikota yang kemungkinan akan ia gandeng di pilkada nanti. di sebuah masjid pertemuan itu digelar, kemudian berlanjut di sebuah hotel. pria berkuasa itu berbagi tugas. “kamu harus selalu tampil di batam, saya akan tampil di kabupaten/kota lain di kepri. mengerti,” katanya pada calon wakilnya itu. sang calon wakil mengangguk.

maka, muncullah poster-poster dan baliho mereka berdua. sama-sama tersenyum. di sudut-sudut jalan, di jalan-jalan protokol mereka tersenyum berdua, sambil mengingatkan masyarakat agar tak lupa membayar pajak.

kekuasaan memang menggiurkan. tak hanya kepada manusia kita berpolitik, kepada tuhanpun kita berpolitik. di depan atau di belakang tuhan, apa bedanya. ***

Leave a comment